Jumat, 26 Oktober 2018

TIDAK MEMASUKKAN BAJU DAN AKHLAK SISWA
By Cauchy Murtopo on 16 Oktober 2017
@https://cauchymurtopo.wordpress.com/2017/10/16/tidak-memasukkan-baju-dan-akhlak-siswa/

Siswa yang belajar di sekolah dari tingkat Kelompok Bermain (KB) sampai menengah atas umumnya berseragam. Siswa dari tingkat dasar (SD/MI)sampai menengah atas (SMA/MA/SMK) memiliki tiga jenis pakaian seragam sekolah. Ketiga seragam sekolah tersebut adalah seragam nasional, pramuka, dan seragam ciri khas sekolah tersebut.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 45 Tahun 2014, seragam nasional dipakai pada hari Senin dan Selasa. Sementara untuk seragam ciri khas sekolah dan kepramukaan dipakai selain hari Senin, Selasa, dan hari dimana ada Upacara Bendera.

Seragam nasional atasan putih dan bawahan merah untuk SD/MI, atasan putih dan bawahan biru untuk SMP/MTs, serta atasan putih dan bawahan abu-abu untuk SMA/MA/SMK. Seragam nasional untuk atasan (baju) harus dimasukkan, terutama bagi putra. Sementara untuk madrasah seragam nasional untuk putri bisa tidak dimasukkan, hal ini sesuai dengan kebijakan masing-masing madrasah.

Seragam ciri khas sekolah adalah seragam yang menjadi ciri khas sekolah/madrasah. Hal ini bisa membedakan antara sekolah yang satu dengan yang lainnya. Seragam ciri khas sekolah bisa dimasukkan atau tidak dimasukkan. Misalnya seragam sekolah baju batik ada yang dimasukkan dan ada yang tidak.

Bagi sekolah yang bisa dibilang ‘bagus’ atau bahkan dianggap favorit oleh masyarakat, hampir tak ada masalah dengan seragam sekolah. Siswa akan menurut aturan sekolah untuk memasukkan bajunya. Dari rumah, di perjalanan, di sekolah, dan pulang sampai rumah lagi baju seragam sekolah tetap rapi dimasukkan.

Meskipun kelihatannya masalah sepele, gampang memasukkan baju, namun tak jarang di lapangan praktiknya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tak sedikit siswa pada sekolah ‘pinggiran’ atau sekolah yang ‘tidak bagus’ tidak mengindahkan aturan harus memasukkan baju. Hal ini bertepuk sebelah tangan dengan sekolah ‘bagus’.

Entah apa di benak mereka sehingga susah sekali disuruh memasukkan baju. Mulai dari rumah, di perjalanan, bahkan sampai di sekolah pun jika tidak terpaksa untuk memasukkan baju, maka mereka akan tetap mengeluarkan baju. Bahkan, tak sedikit siswa yang awalnya di sekolah memasukkan baju, pada saat istirahat baju dikeluarkan.

Beberapa siswa saat di kelas ada yang memasukkan baju dan ada yang tidak. Pada saat jam pelajaran tertentu karena gurunya disiplin, maka siswa akan memasukkan baju. Nmaun, pada saat jam tertentu yang gurunya kurang disiplin, tidak memperhatikan seragam siswa, maka mereka akan segera mengeluarkan baju. Menyuruh memasukan baju pada siswa seperti ini seperti menyuruh mereka menagngkat beban satu ton.

Fenomena ini sangat memprihatinkan bagi kalangan pendidik. Beberapa faktor sehingga siswa enggan untuk memasukkan bajunya. Faktor-faktor tersebut bisa dari dalam dan luar sekolah.

1.    Tidak diperhatikan orang tua
Tak sedikit siswa yang tidak mau memasukkan baju karena kurang atau bahkan tidak diperhatikan oleh orang tua. Karena kesibukan orang tua, mereka tidak memperhatikan apa yang harus dilakukan anaknya, termasuk dalam hal pakaian seragam sekolah. Mau memasukkan baju atau tidak orang tua mereka tidak peduli.

Tak sedikit orang tua yang bekerja sebagai karyawan pabrik atau kantoran atau buruh yang harus berangkat pagi-pagi ke tempat kerja. Hal ini kerap terjadi di daerah perkotaan. Pada saat mereka berangkat kerja anaknya belum bangun. Sementara saat pulang dan sampai di rumah anaknya sudah tidur atau malah tidak ada di rumah karena masih main.

Kurangnya komunikasi antara orang tua dengan anaknya juga sangat berpengaruh pada seragam apa yang harus dipakai oleh anaknya. Saat sampai di rumah orang tua tidak segera menemui anaknya untuk menanyakan tentang apa yang telah dilakukan di sekolah, termasuk seragam sekolah.

2.    Lingkungan tempat tinggal

Lingkungan tempat tinggal siswa sangat berpengaruh pada tingkah laku siswa. Tak bisa dipungkiri lagi bahwa anak dibesarkan pada lingkungan tempat tinggalnya akan membentuk sifat dan karakter anak. Lingkungan yang kondusif akan mendukung anak untuk menjadi baik. Namun sebaliknya, lingkungan yang semrawut seperti banyak orang mabuk, pakaian yang dikenakan tak pantas dan tak sopan akan membentuk karakter anak seperti pada lingkungannya pula.

3.    Media

Tak sedikit anak yang mengikuti tingkah laku atau gaya pada apa yang mereka lihat dan dengar dari media dari pada guru dan orang tuanya. Sinema elektronik (sinetron) adalah media yang sangat mudah mempengaruhi tingkah laku siswa, termasuk dalam seragam. Adegan siswa pada sinetron yang tidak pantas ditiru seperti baju seragam sekolah yang tidak dimasukkan, seragam sekolah dengan rok mini membuat anak akan mengikutinya. Mereka akan menerapkan apa yang mereka lihat pada seragam sekolahnya.

Peran media sangatlah besar dalam mengubah tingkah laku siswa. Seharusnya sutradara sinetron saat ada adegan sekolah juga harus memperhatikan etika dan aturan seperti baju seragam nasional harus dimasukkan. Para sutradara harus mencari informasi tentang aturan seragam tersebut. Jangan hanya mengambil keuntungan komersial semata tanpa memikirkan akibat ke depannya.

Komisi penyiaran juga harus menerapkan sensor yang ketat. Apalagi pada adegan-adegan yang kurang atau bahkan tidak mendidik sama sekali, termasuk dalam hal seragam sekolah pada saat ada adegan anak sekolah.

4.    Peraturan sekolah

Peraturan sekolah yang ketat membuat para siswa tertib dan disiplin, termasuk dalam hal seragam. Namun, peraturan yang longgar akan menjadikan celah untuk pelanggaran, termasuk urusan seragam sekolah.

Tak sedikit sekolah sudah memiliki aturan yang disiplin, termasuk dalam hal seragam. Namun, jika yang harus mengawasi pelaksanaan aturan itu tidak berfungsi, maka hanya isapan jempol saja. Siapa yang mengawasi aturan ini? Tentu para pendidik yang tiap hari tidak hanya mengajar di dalam kelas saja, namun juga mendidik, membimbing dan mengarahkan siswa meskipun di luar kelas.

Guru yang disiplin bagi siswa yang rajin dan pandai sangat disenangi. Karena, bagi mereka guru yang seperti ini akan menginspirasi supaya masa depan menjadi baik. Namun sebaliknya, guru disiplin bagi siswa yang nakal, bandel, dan tidak mau mematuhi peraturan akan dibenci.

Siswa yang memasukkan baju dengan rapi akan kelihatan lebih indah untuk dipandang. Siswa yang memiliki nilai akademik yang bagus biasanya juga selalu mematuhi peraturan, termasuk memasukkan baju seragamnya. Pada catatan di guru Bimbingan Konseling (BK) pun tidak ada masalah bagi siswa yang memasukkan baju.

Namun, siswa yang selalu mengeluarkan baju biasanya banyak catatan negatif di BK. Tak sedikit siswa yang tidak mau memasukkan baju memiliki akhlak atau tingkah laku yang kurang atau tidak baik. Beberapa kali orang tua dipanggil tidak hanya masalah seragam, melainkan juga masalah yang lainnya. Bahkan, karena banyaknya pelanggaran tak jarang siswa seperti ini dengan sangat terpaksa ada yang dikeluarkan.

Kelihatannya masalah sepele, hanya tidak memasukkan baju meskipun pakaian seragam sesuai, namun ini adalah awal dari masa depan anak. Jika hal ini dibiarkan bukan hal yang tidak mungkin anak-anak seperti ini memiliki masalah yang besar di kemudian hari. Masalah kriminal atau yang lain bisa jadi dimulai dari siswa tidak mau memasukkan baju.

Bahkan masalah korupsi yang saat ini menjadi perhatian serius dari berbagai negara di dunia ini awalnya bisa jadi dari koruptor saat menjadi siswa tidak mau memasukkan baju. Oleh sebab itu perlu penanganan yang serius meskipun kelihatannya sepele.

Tulisan di atas adalah berdasarkan catatan dari saya sebagai pendidik/guru. Tugas pendidik bukan hanya mengajar di kelas saja tanpa memperhatikan tingkah laku siswanya, termasuk dalam berpakaian.

0 komentar:

Posting Komentar